Akan aku ceritakan sepenggal kisah masa kecilku. Di mana aku dan teman-temanku mengisi setiap detiknya dengan petualangan seru.
Pemulung. Entah bagaimana pandangan kalian terhadap kata itu. Dan aku tidak peduli, sebab saat kecil dulu aku dan temanku sempat menjadi pemulung. Sebenarnya, orang tua kami bukan keluarga yang kesusahan. Kami makan tiga kali sehari bahkan aku pernah empat kali sehari. Kami juga diberi uang saku yang layak untuk anak SD kelas tiga.
Saat itu, kami memang masih kecil tapi kami suka uang. Dengan jiwa petualang kami mengumpulkan plastik, kardus, paku, dan sejenis barang lainnya yang bisa dirongsokkan. Serius, kami bahkan mencarinya hingga di tempat pembuangan sampah. Dan perasaan bahagia saat melihat setumpuk kardus dan gelas plastik bertebaran menumbuhkan semangat kami untuk mengumpulkannya. Tidak peduli itu kotor dan bau, kami terus mengais.
Dengan akal sangat genius menurut kami saat itu, kami menggunakan magnet untuk mencari besi yang berserakan di tanah. Magnet itu kami bungkus menggunakan plastik, lalu di beri tali panjang. Dan jadilah alat pendeteksi logam manual. Haha. Kami tinggal melempar tali, lalu menariknya dan paku-paku kecil segera menempel di plastik. Mudah sekali.
Sialnya, aku bisa dibilang anak yang ringkih. Jika berada di bawah terik.matahari terlalu lama aku akan mimisan. Jadi, aku yang paling susah mendapatkan ijin. Bahkan untuk mencari rongsokan ini aku tidak mendapat izin dari orang tua. Saat ketahuan aku dimarahi habis-habisan. Aku tahu, yang mereka lakukan adalah karena rasa sayangnya padaku.
Tapi bukan anak kecil namanya kalau tidak melanggar aturan orang tua. Untuk beberapa hari aku memang tidak lagi ikut mencari rongsokan dengan teman-temanku. Mereka juga memaklumi. Tapi aku tidak tahan. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk bersenda gurau dengan mereka. Akhirnya aku kembali menjadi pemulung cilik dengan sembunyi-sembunyi.
Setelah barang rongsokan terkumpul banyak, dan sudah terpisah antara plastik, kertas, dan besi, kami menjualnya. Oh, percayalah. Kami pernah kehilangan satu karung berisi gelas dan botol plastik. Entah diambil oleh siapa, tapi kami tidak pantang menyerah dan kembali mencari. Biarkan itu menjadi amal kami kelak, aamiin.
Petualangan kami tidak hanya sampai di situ. Uang hasil penjualan barang rongsok, kami gunakan untuk makan-makan. Jangan bayangkan kami makan di restoran mewah sebab bukan hanya uang kami tidak cukup tapi kami punya cara yang lebih hebat.
Kami membelanjakan uang itu untuk membeli sayuran di pasar. Lalu kami memasaknya sendiri dengan bekal resep dari orang tua. Saat itu belum marak kompor gas, jadi kami masih menggunakan pawon atau tungku. Sungguh sebuah perjuangan untuk menyalakan api.
Rupanya kami cukup handal, karena masakan kami rasanya cukup enak. Dan kami makan bersama dari hasil keringat dan masakan kami sendiri.
Ini ceritaku, mana ceritamu?
apabae
Kamis, 19 April 2018
Cerita Masa Kecil Penuh Makna
Kisah masa kecil akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati dan memori kita. Baik buruknya akan selalu teringat dan menjadi kenangan indah untuk dikenang. Rasanya, andai bisa memutar waktu ingin sekali kembali di masa kanak-kanak. Di mana tubuh mungil dengan tingkah lucu nan polos mengarungi kehidupan dengan penuh canda dan tawa meski kadang tangis dan sedih menyela.
Sama seperti manusia pada umumnya, aku pernah kecil dan mempunyai kenangan masa kecil karena sekarang aku sudah remaja menjelang dewasa. Kali ini aku akan membagi cerita masa kecilku. Tentu tidak semuanya karena itu akan membutuhkan ratusan halaman atau bahkan ribuan(?).
Saat itu aku masih SD kelas empat tepatnya di bulan Ramadhan. Seperti halnya saat bulan puasa, tidak ada yang menjual makanan juga jajan. Bukan berarti aku ingin beli jajan, karena pada saat itu aku juga sedang berpuasa. Tapi, para pedagang dengan terampilnya menjajakan dagangan dengan bentuk permainan yang tentu saja tidak akan membatalkan puasa.
Saat itu ada salah satu penjual yang selalu dikerubungi oleh anak-anak. Dia menjual ikan hias -kebanyakan ikan emas. Yang membuatnya unik adalah cara mendapatkan ikan itu dengan cara didudut atau ditarik. Jadi ikan-ikan itu dibungkus plastik lalu diberi tali untuk ditarik. Tentu saja tidak semua tali terpasang dengan plastik berisi ikan. Ada juga yang zonk alias tidak terpasang apapun. Dua kali kesempatan menarik tali dihargai dengan lima ratus rupiah.
Sebenarnya saat itu aku berpikir, apakah ini termasuk judi? Tapi perasaan senang saat mendapat ikan dipercobaan yang kesekian membuat aku ketagihan. Jika itu termasuk judi, maka ampunilah aku dan teman-temanku ya Rabb. Kasihan kedua orang tua kami yang akan menanggung dosa kami yang belum baligh saat itu.
Uniknya adalah, aku dan teman masa kecilku, juga mengambil kesempatan itu dengan meniru ide dari sang penjual. Maafkan kami, Pak. Tapi aku yakin penjual itu belum mempatenkan usahanya, jadi aku dan temanku tidak akan dipenjara. Haha.
Modal kami tidak banyak, kami menyisihkan uang saku kami untuk membeli ikan hias, plastik, dan tali rafia (berbeda dengan yang digunakan oleh penjual sebab kami tidak tahu jenis tali apa yang dipakai, bahkan sampai saat ini aku juga tidak tahu.). Kami juga menggunakan ikan hias hasil dudutan.
Selanjutnya adalah bagaimana kami dengan kondisi berpuasa, sepulang sekolah saat matahari sedang panas-panasnya, berjualan keliling di desa kami.
Lihatlah bagaimana kami berwirausaha, bagaimana kerja keras kami, bagaimana cara membagi modal dan keuntungan. Itu semua kami lakukan saat masih kelas empat SD.
Itulah sepenggal kisah masa kecilku dan teman-temanku. Terkadang, tanpa kita sadari masa kecil memberikan kita pelajaran berharga. Bagaimana kita bekerja sama, bagaimana kita menyambung tali pertemanan bahkan tanpa ada satu hari bermusuhan, bagaimana tawa muncul dalam hal yang sangat sederhana.
Termasuk dari kisahku yang telah aku ceritakan di atas. Tanpa kami sadari, kami belajar bagaimana berwirausaha. Itu sebuah pelajaran yang didapat tanpa kesengajaan dengan prinsip senang dan dapat uang. Terima kasih telah membaca sepenggal kisah masa kecilku.
Sama seperti manusia pada umumnya, aku pernah kecil dan mempunyai kenangan masa kecil karena sekarang aku sudah remaja menjelang dewasa. Kali ini aku akan membagi cerita masa kecilku. Tentu tidak semuanya karena itu akan membutuhkan ratusan halaman atau bahkan ribuan(?).
Saat itu aku masih SD kelas empat tepatnya di bulan Ramadhan. Seperti halnya saat bulan puasa, tidak ada yang menjual makanan juga jajan. Bukan berarti aku ingin beli jajan, karena pada saat itu aku juga sedang berpuasa. Tapi, para pedagang dengan terampilnya menjajakan dagangan dengan bentuk permainan yang tentu saja tidak akan membatalkan puasa.
Saat itu ada salah satu penjual yang selalu dikerubungi oleh anak-anak. Dia menjual ikan hias -kebanyakan ikan emas. Yang membuatnya unik adalah cara mendapatkan ikan itu dengan cara didudut atau ditarik. Jadi ikan-ikan itu dibungkus plastik lalu diberi tali untuk ditarik. Tentu saja tidak semua tali terpasang dengan plastik berisi ikan. Ada juga yang zonk alias tidak terpasang apapun. Dua kali kesempatan menarik tali dihargai dengan lima ratus rupiah.
Sebenarnya saat itu aku berpikir, apakah ini termasuk judi? Tapi perasaan senang saat mendapat ikan dipercobaan yang kesekian membuat aku ketagihan. Jika itu termasuk judi, maka ampunilah aku dan teman-temanku ya Rabb. Kasihan kedua orang tua kami yang akan menanggung dosa kami yang belum baligh saat itu.
Uniknya adalah, aku dan teman masa kecilku, juga mengambil kesempatan itu dengan meniru ide dari sang penjual. Maafkan kami, Pak. Tapi aku yakin penjual itu belum mempatenkan usahanya, jadi aku dan temanku tidak akan dipenjara. Haha.
Modal kami tidak banyak, kami menyisihkan uang saku kami untuk membeli ikan hias, plastik, dan tali rafia (berbeda dengan yang digunakan oleh penjual sebab kami tidak tahu jenis tali apa yang dipakai, bahkan sampai saat ini aku juga tidak tahu.). Kami juga menggunakan ikan hias hasil dudutan.
Selanjutnya adalah bagaimana kami dengan kondisi berpuasa, sepulang sekolah saat matahari sedang panas-panasnya, berjualan keliling di desa kami.
Lihatlah bagaimana kami berwirausaha, bagaimana kerja keras kami, bagaimana cara membagi modal dan keuntungan. Itu semua kami lakukan saat masih kelas empat SD.
Itulah sepenggal kisah masa kecilku dan teman-temanku. Terkadang, tanpa kita sadari masa kecil memberikan kita pelajaran berharga. Bagaimana kita bekerja sama, bagaimana kita menyambung tali pertemanan bahkan tanpa ada satu hari bermusuhan, bagaimana tawa muncul dalam hal yang sangat sederhana.
Termasuk dari kisahku yang telah aku ceritakan di atas. Tanpa kami sadari, kami belajar bagaimana berwirausaha. Itu sebuah pelajaran yang didapat tanpa kesengajaan dengan prinsip senang dan dapat uang. Terima kasih telah membaca sepenggal kisah masa kecilku.
Balada Rin-Sepenggal Kisah Masa Lalu
Balada Rin
"Aku ingin menjadi seorang guru."
Kalimat itulah yang selalu kuucap ketika ditanya apa cita-citaku. Aku begitu kagum pada sosok seorang guru. Figur yang tidak hanya mampu mengajar namun juga mendidik. Tidak hanya mengedepankan intelektual namun juga karakter. Itulah sosok guru yang aku idam-idamkan.
Dan sekarang, gadis berusia 18 tahun ini sudah menjadi salah satu mahasiswa di universitas negeri di Jawa Tengah tepatnya jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Entah mengapa guru sekolah dasar begitu menarik. Itu mengingatkanku pada sosok Pak Gito, salah satu guru favorit saat SD. Beliau dengan sabar dan tekun mengajari kami yang sedang bandel-bandelnya karena menuju masa peralihan alias kelas 6 SD. Beliau mampu membawa kami menuju prestasi yang gemilang. Peringkat 1 Ujian Nasional tingkat kabupaten sehingga mampu menaikkan derajat almamater. Dan Aku ingin seperti beliau. Menjadi guru SD di sekolah terpencil, menuntun muridku menuju cahaya kesuksesan.
Namun, segala sesuatu pasti ada proses yang harus dilalui. Seperti halnya kupu-kupu. Merasakan bagaimana dipandang jijik atau sebelah mata. Serupa peristiwa saat _booming_ pengumuman SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
"Pantes lah lolos SBM, ambilnya PGSD."
"Kenapa ambil PGSD? Kan susah. Harus ngarya dulu. Gajinya kecil. Kenapa nggak ambil akuntansi aja?"
"Lah, ngapain lanjut kuliah. Toh, ujung-ujungnya juga nyari kerja. Yang sarjana juga banyak tuh yang jadi pengangguran."
Kalimat-kalimat yang cukup membuat kuping miris dan hati teriris. Apalagi masalah profesi. Bukankah tidak ada yang salah dari setiap profesi? Karena menurutku, yang salah hanyalah pandangan kita yang mengecam salah. Tidak ada yang terbaik dari profesi apapun. Karena setiap profesi ada keunggulan di bidangnya masing-masing. Jika semua ingin menjadi guru, maka siapa yang akan mengobati orang sakit? Jika semua ingin menjadi dokter, maka siapa yang akan menghitung aktiva dan pasiva perusahaan? Kesuksesan seseorang tidak diukur dari jenis profesinya melainkan bagaimana pengabdian seseorang pada profesi yang dijalaninya. Jadi, berhentilah berpikir sempit karena dunia itu luas. Dan Aku tetap pada pendirian untuk melanjutkan cita-cita apalagi dengan bantuan bidikmisi dari pemerintah. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang Aku dustakan? Biarlah mereka berkicau sesuka ria. Karena Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari skenario yang telah dirancang oleh-Nya. Dan Allah Maha Mengatahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Rasa jenuh, menghindar dari semua beban, dan ingin menghentikan waktu selalu ada dalam siklus kehidupan. Begitu pula yang Aku rasakan. Sudah tiga bulan kuliah kujalani. Rasanya ini bukan 'aku'. Gadis yang suka akan kebebasan dan lebih suka membaca novel ketimbang buku pelajaran. Bahkan meski ada dana bidikmisi rasanya masih saja merepotkan orang tua. Hingga pemikiran ingin bekerja sering muncul dalam benak. Namun, seperti ulat dalam kepompong, Aku harus bertahan meski sempit dan mengikat agar bisa menjadi kupu-kupu yang cantik dan siap mengarungi persoalan pelik dalam hidup yang sesungguhnya.
Apalagi jika mengingat perjuangan keluarga yang begitu besar. Pada masa di mana Aku bekerja di salah satu dealer motor terkenal akibat kurang percaya diri dengan hasil tes SBMPTN dan sebagai anak semata wayang, satu-satunya harapan keluaraga, tidak mungkin bisa berdiam diri menunggu sesuatu yang tak pasti. Kemudian, pada saat pengumuman SBMPTN, yaitu tiga minggu Aku bekerja, rasa bahagia menyelusup saat nama Arin Widiarsih dinyatakan lolos SBMPTN. Kata syukur meluncur deras di bibir. Oleh karena itu, ada borang yang harus kuurus namun terkendala dengan status pegawai baru yang masih risih untuk mengambil cuti. Hingga keluargalah yang turun tangan mengurus segala tetek bengek yang tercantum dalam borang. Bagaimana Aku bisa berhenti jika bermalas-malasan saja Aku tak pantas? Kini, akan kujalani setiap inci proses mewujudkan cita-cita dalam balutan usaha dan do'a. Tidak peduli terhadap siapa dan apa saja yang mencoba menjatuhkan. I can do it.
Tegal, 20 April 2018
"Aku ingin menjadi seorang guru."
Kalimat itulah yang selalu kuucap ketika ditanya apa cita-citaku. Aku begitu kagum pada sosok seorang guru. Figur yang tidak hanya mampu mengajar namun juga mendidik. Tidak hanya mengedepankan intelektual namun juga karakter. Itulah sosok guru yang aku idam-idamkan.
Dan sekarang, gadis berusia 18 tahun ini sudah menjadi salah satu mahasiswa di universitas negeri di Jawa Tengah tepatnya jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Entah mengapa guru sekolah dasar begitu menarik. Itu mengingatkanku pada sosok Pak Gito, salah satu guru favorit saat SD. Beliau dengan sabar dan tekun mengajari kami yang sedang bandel-bandelnya karena menuju masa peralihan alias kelas 6 SD. Beliau mampu membawa kami menuju prestasi yang gemilang. Peringkat 1 Ujian Nasional tingkat kabupaten sehingga mampu menaikkan derajat almamater. Dan Aku ingin seperti beliau. Menjadi guru SD di sekolah terpencil, menuntun muridku menuju cahaya kesuksesan.
Namun, segala sesuatu pasti ada proses yang harus dilalui. Seperti halnya kupu-kupu. Merasakan bagaimana dipandang jijik atau sebelah mata. Serupa peristiwa saat _booming_ pengumuman SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
"Pantes lah lolos SBM, ambilnya PGSD."
"Kenapa ambil PGSD? Kan susah. Harus ngarya dulu. Gajinya kecil. Kenapa nggak ambil akuntansi aja?"
"Lah, ngapain lanjut kuliah. Toh, ujung-ujungnya juga nyari kerja. Yang sarjana juga banyak tuh yang jadi pengangguran."
Kalimat-kalimat yang cukup membuat kuping miris dan hati teriris. Apalagi masalah profesi. Bukankah tidak ada yang salah dari setiap profesi? Karena menurutku, yang salah hanyalah pandangan kita yang mengecam salah. Tidak ada yang terbaik dari profesi apapun. Karena setiap profesi ada keunggulan di bidangnya masing-masing. Jika semua ingin menjadi guru, maka siapa yang akan mengobati orang sakit? Jika semua ingin menjadi dokter, maka siapa yang akan menghitung aktiva dan pasiva perusahaan? Kesuksesan seseorang tidak diukur dari jenis profesinya melainkan bagaimana pengabdian seseorang pada profesi yang dijalaninya. Jadi, berhentilah berpikir sempit karena dunia itu luas. Dan Aku tetap pada pendirian untuk melanjutkan cita-cita apalagi dengan bantuan bidikmisi dari pemerintah. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang Aku dustakan? Biarlah mereka berkicau sesuka ria. Karena Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari skenario yang telah dirancang oleh-Nya. Dan Allah Maha Mengatahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Rasa jenuh, menghindar dari semua beban, dan ingin menghentikan waktu selalu ada dalam siklus kehidupan. Begitu pula yang Aku rasakan. Sudah tiga bulan kuliah kujalani. Rasanya ini bukan 'aku'. Gadis yang suka akan kebebasan dan lebih suka membaca novel ketimbang buku pelajaran. Bahkan meski ada dana bidikmisi rasanya masih saja merepotkan orang tua. Hingga pemikiran ingin bekerja sering muncul dalam benak. Namun, seperti ulat dalam kepompong, Aku harus bertahan meski sempit dan mengikat agar bisa menjadi kupu-kupu yang cantik dan siap mengarungi persoalan pelik dalam hidup yang sesungguhnya.
Apalagi jika mengingat perjuangan keluarga yang begitu besar. Pada masa di mana Aku bekerja di salah satu dealer motor terkenal akibat kurang percaya diri dengan hasil tes SBMPTN dan sebagai anak semata wayang, satu-satunya harapan keluaraga, tidak mungkin bisa berdiam diri menunggu sesuatu yang tak pasti. Kemudian, pada saat pengumuman SBMPTN, yaitu tiga minggu Aku bekerja, rasa bahagia menyelusup saat nama Arin Widiarsih dinyatakan lolos SBMPTN. Kata syukur meluncur deras di bibir. Oleh karena itu, ada borang yang harus kuurus namun terkendala dengan status pegawai baru yang masih risih untuk mengambil cuti. Hingga keluargalah yang turun tangan mengurus segala tetek bengek yang tercantum dalam borang. Bagaimana Aku bisa berhenti jika bermalas-malasan saja Aku tak pantas? Kini, akan kujalani setiap inci proses mewujudkan cita-cita dalam balutan usaha dan do'a. Tidak peduli terhadap siapa dan apa saja yang mencoba menjatuhkan. I can do it.
Tegal, 20 April 2018
Langganan:
Postingan (Atom)